Mangir Di Balik Tabir Sejarah (3)

Apa yang dilakukan Mataram atas Mangir merupakan strategi politik dan militer yang cukup canggih. Mangir yang waktu itu cukup kuat, yang dilambangkan dengan dimilikinya tombak pusaka Kyai Baruklinting, membuat Mataram di bawah Senapati tidak mau melakukan tindakan gegabah atas Mangir. Pembayun pun disusupkan ke Mangir dengan pura-pura menjadi taledhek barangan. Masuknya taledhek Pembayun, ternyata mampu memikat hati Mangir. Penari ledhek yang cantik molek ini meruntuhkan hati Mangir. Jatuh hatilah Mangir kepada Pembayun. Lambat laun Pembayun pun jatuh hati kepada Mangir. Lebih-lebih dengan tumbuhnya janin di dalam diri Pembayun atas benih Mangir makin mendekatkan perasaan hati Pembayun pada Mangir. Cinta dua insan ini tidak terhindarkan.

Politik Mataram tidak berubah sekalipun anak dari raja Mataram ini telah menjadi istri Mangir. Nyawa Mangir harus diserahkan, apa pun alasannya. Dengan segala cara mangir ditarik ke Mataram untuk dihabisi. Bukan dengan penyerbuan perang, namun dengan strategi yang betatapun penuh tipu daya, merupakan jalan yang sering ditempuh oleh para penguasa yang ambisius. Tangis Pembayun tidak mampu meruntuhkan tekad ayahnya untuk menaklukkan saingan-saingannya. Bahkan anak dalam kandungan Pembayun pun jika nanti lahir sebagai laki-laki akan terancam nyawanya. Pembayun pun akhirnya tidak dimasukkan kembali ke dalam lingkungan Kraton Mataram, namun diberikan kepada Ki Ageng Karanglo. Pada sisi-sisi inilah politik dan kekuasaan sering dan hampir selalu lepas kendali. Anak sendiri dikorbankan demi ambisi-ambisi kekuasaan.

Barangkali Mataram memang perlu menaklukkan Mangir karena Mataram memang ingin menjadi satu-satunya matahari di bumi Jawa atau bahkan Nusantara. Pijar sinar lain tidak boleh berlangsung hidup. Ia harus dipadamkan sekalipun pijar lain itu tidak bermaksud menyaingi atau bahkan memusuhi. Akan tetapi monopoli kekuasaan tidak mengenal semua itu. Pusat itu hanya satu.

Mangir yang dikenal sebagai saingan Mataram dikenal sebagai orang yang hebat. Militansi pengikutnya juga sangat kuat. Mataram paham benar soal ini. Perang terbuka dengan Mangir hanya akan menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Seperti layaknya manusia Jawa lain, Mangir tidak bisa dilawan dengan kekerasan. Ia harus "dipangku ". Setelah bisa dipangku maka ia akan lemas atau mati. Demikianlah Mangir. Ia dipangku melalui paha Pembayun. Hati Mangir yang keras seperti batu menjadi lunak seperti beludru. Seperti kerbau dicucuk hidungnya ia hanya bisa "manut" pada permainan politik sang dalang politik, Senapati dan Pemanahan yang menggunakan "wayang" Pembayun. Dengan pangkuan-pangkuan palsu, Mangir menjadi lemah dan lengah. Ia tewas karena ia telah terjerat perasaan cinta kepada Pembayun. Andaikata Pembayun tidak disusupkan ke Mangir, akankah Mangir mampu menandingi Mataram atau bahkan melenyapkannya ? Sejarah tidak mengenal kata andaikata. Demikianlah yang terjadi. Kita hanya bisa menarik hikmah dari semua yang telah terjadi.
****

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Lintang Sakembaran

Misteri Ratu Malang

Cerita Rakyat Gendra Asmara Adipati Anom Amral