Jogja Kian Sumpeg
Tentu ada banyak orang di Jogja yang melintasi jalan-jalan di Jogja dalam kesehariannya. Entah untuk bersekolah atau bekerja. Saya pun demikian. Sejak SMA di tahun 80-an saya telah melintasi banyak jalan di Jogja. Dulu hampir tidak dikenal kemacetan kecuali ada pawai atau rombongan pengantar jenazah. Kini Jogja begitu semrawut. Hampir semua perempatan atau persilangan jalan di kota Jogja menghasilkan kemacetan. Minimal antrean panjang dan cukup lama. Kendaraan bermesin seolah tumpah ruah di Jogja. Jalanan seperti tidak mampu lagi mendukung banyaknya jumlah kendaraan.
Kebisingan, kesemrawutan, polusi udara, ketegangan menjadi suguhan sehari-hari di Jogja dari detik ke detik. Transportasi umum nyaris tidak menemukan peran dan eksistensinya secara memadai. Orang berlomba memiliki kendaraan pribadi dan semua seolah ditumpahkan begitu saja di jalanan di Jogja.
Tahun-tahun mendatang boleh dipastikan daya dukung jalanan di Jogja akan semakin kesulitan menampung membanjirnnya kendaraan di kota ini. Pembangunan jalan baru bukanlah solusi yang bisa dipandang baik. Pasalnya pembangunan jalan baru identik dengan pelahapan lahan baru yang boleh jadi lahan baru tersebut merupakan pemukiman, lahan produktif, daerah resapan air, ruang terbuka yang menjadi spasi sebuah kepadatan, dan seterusnya. Akankah tanah-tanah di Jogja akan terus diberi atau digunakan untuk mendirikan bangunan baru. Entah itu jalan atau perumahan.
Program mensepedakan orang Jogja nyaris tanpa hasil. Orang terlanjur dimudahkan dengan kendaraan bermesin. Orang terlanjur percaya bahwa memiliki kendaraan bermesin merupakan bagian dari gaya hidup bergengsi. Gaya hidup sukses dan kaya. Di samping tentu saja, merupakan kebutuhan yang termasuk pokok mengingat sistem transportasi umum sulit diandalkan.
Ke depan mari kita sambut Jogja yang sumpeg, penuh polutan, semrawut, macet, panas, dan sumuk.
Kebisingan, kesemrawutan, polusi udara, ketegangan menjadi suguhan sehari-hari di Jogja dari detik ke detik. Transportasi umum nyaris tidak menemukan peran dan eksistensinya secara memadai. Orang berlomba memiliki kendaraan pribadi dan semua seolah ditumpahkan begitu saja di jalanan di Jogja.
Tahun-tahun mendatang boleh dipastikan daya dukung jalanan di Jogja akan semakin kesulitan menampung membanjirnnya kendaraan di kota ini. Pembangunan jalan baru bukanlah solusi yang bisa dipandang baik. Pasalnya pembangunan jalan baru identik dengan pelahapan lahan baru yang boleh jadi lahan baru tersebut merupakan pemukiman, lahan produktif, daerah resapan air, ruang terbuka yang menjadi spasi sebuah kepadatan, dan seterusnya. Akankah tanah-tanah di Jogja akan terus diberi atau digunakan untuk mendirikan bangunan baru. Entah itu jalan atau perumahan.
Program mensepedakan orang Jogja nyaris tanpa hasil. Orang terlanjur dimudahkan dengan kendaraan bermesin. Orang terlanjur percaya bahwa memiliki kendaraan bermesin merupakan bagian dari gaya hidup bergengsi. Gaya hidup sukses dan kaya. Di samping tentu saja, merupakan kebutuhan yang termasuk pokok mengingat sistem transportasi umum sulit diandalkan.
Ke depan mari kita sambut Jogja yang sumpeg, penuh polutan, semrawut, macet, panas, dan sumuk.
Komentar
Posting Komentar